Hotsshort

Label

Selasa, 05 Februari 2013

Si Kupu-kupu

Semangat mentari semakin menggelora, membuat Bayangan di kaki semakin nyata. Dan tubuh semakin letih untuk melangkah, sedangkan Bayangan tak lelah untuk menjadi nyata. Aku sudah tak tahan, bila Bayangan menguntitku terus seakan Aku tak pernah lepas dari tatapan matanya. Sungguh lelah dan teramat lelah, bila gerak langkah terus di awasinya. Setiap kali tidur maupun bangun, kenapa Bayangan selalu ada? Seperti tak habis-habisnya menerorku dan menagih sebuah jawaban yang tak kumengerti. Aku sangat bingung akan semua yang terjadi didepan mata maupun tidak di hadapan mata.

Dan Aku bangun dari perbaringanku untuk mencari sebuah nafas yang segar, sebuah nafas yang sangat kuidam-idamkan. Aku pun mencari bersama mentari yang berada di atasku, sebagai pelita pencarianku. Namun, tetap saja Bayangan tak mau beranjak dari jarak yang telah dibuatnya. Aku perputar sekian kalinya, hanya untuk mencari nafas segar. Namun, kemarahan, kegelisahan, frustasi, dan keletihan yang kudapatkan dalam pencarianku.
Lelah dan lelah, badan merasakannya di setiap pencariannya. Aku pun mengasingkan kembali ke tepi danau, yang sering kukunjungi setiap harinya. Aku merasa nyaman melihat rumput-rumput yang melahirkan bunga-bunga. Bunga yang sangat cantik dan harum dimata. Hingga, banyak serangga-serangga kecil yang menghampirinya. Aku hanya memandangnya dari kejauhan, melihat bunga-bunga yang tergoyangkan oleh angin semilir.
Sebuah pertunjukkan sangat indah, yang dimainkan oleh bunga. Lebih-lebih bunga yang baru lahir. Sebuah pertunjukkan yang membuatku tertidur di bawah pohon apel hijau yang rindang. Hanya angin-angin yang terasa oleh kulit. Dan semilirnya membuat tubuh seakan ringan untuk terbang. Tiba-tiba, ada seekor kupu-kupu menghinggap di atas kepalaku. Aku pun terbangun dan meraba di atas kepala. Kupu-kupu langsung terbang di depan wajahku dan berkata, “Maafkan Aku, Tuan? Kalau Aku mengganggu tidur Tuan di bawah pohon apel, yang begitu rindang ini.”
Aku hanya tersentak kaget dan menatap kupu-kupu. Terkaget akan suara yang baru terlontar dari mulutnya. Sungguh aneh, seekor kupu-kupu yang dapat  berbicara kepadaku. Lebih-lebih, Dia berkata maaf kepada diriku. Dan Ia mulai berbicara lagi, menggugah lamunanku, “Ada apa, Tuan? Kenapa Tuan melamun?”
“Tidak......... tidak apa-apa, kok. Kau ini siapa? Dan kenapa Kau bisa bicara? Padahal, Kau adalah seekor kupu-kupu yang indah. Apakah Kau mengerti dan dapat berbahasa yang kupakai?”
“Jangan kaget, Tuan! Aku  memang mengerti apa yang Tuan ucapkan. Pertama-tama, perkenalkan namaku, Slik.”
“Aku ini sebenarnya mimpi atau tidak? Apakah semacam halusinasiku saja?”(Sambil menepuk-nepuk pipi dan sesekali memejamkan mata.)
“Sulit untuk dijawabnya, Tuan. Silakan, Tuan melanjutkan istirahatnya. Aku akan pergi, agar Tuan tidak terganggu.”
“Tunggu sebentar! Aku ingin bicara denganmu, apakah Kau ada waktu untuk itu?”
“Baiklah, Tuan. Aku akan mendengarkan apa yang Tuan ingin bicarakan dan menjawab apa yang Tuan tanyakan.”
“Terima kasih atas waktunya. Tetapi, Aku melihat indahnya tubuhmu dan sangat mengagumkan sekali akan keelokan sayapmu! Pantas saja, para wanita suka dengan kupu-kupu. Seandainya Aku menjadi sepertimu, yang banyak disukai oleh banyak orang?”
“Terima kasih atas pujiannya, Tuan. Tapi.................”
“Tapi apa? Kau tidak senang akan keelokkan tubuhmu? Atau Kau bersedih akan kecantikanmu?”
“Sama sekali tidak. Namun, Aku malah lebih senang, bila mempunyai perawakan seperti Tuan dan bergaul dengan komunitas Tuan.”
“Apa? Tubuhku? Komunitasku? Kau mengada-ada saja? Padahal, Kau sangat cantik dan serangga yang paling disukai banyak orang.”
“Benar... benar. Aku sangat ingin sekali hidup seperti Tuan. Aku sangat ingin memiliki kaki, tangan, wajah, dan hati. Sehingga dapat merasakan kehidupan yang indah.”
“Yang benar saja? Kau akan menyesal nantinya. Kau akan merasakan beban yang kutanggung. Lebih baik, Aku menjadi kupu-kupu sepertimu, yang selalu di cintai oleh semua orang.”
“Tuan ingin menjadi seekor kupu-kupu yang malang ini dan yang akan meninggal ini? Sungguh aneh terdengar oleh telingaku, Tuan.”
“Apanya yang aneh? Masa Kau mengatakan dirimu itu malang? Dan akan berakhir atas kehidupanmu?”
Namun, Si Kupu-kupu tak menjawabnya. Ia pergi dari hadapanku yang termangu atas perkataannya. Ia terbang disekitar bunga-bunga yang baru saja lahir, Ia terbang rendah dibalik dedauan rumput lapang. Dan seperti mencari-cari sesuatu yang berharga baginya. Namun, Ia hanya membawa sesuatu, sesuatu yang kelihatannya seperti sebutir pasir. Dan Aku hanya bisa bertanya kepadanya, “Apa yang Kau bawa itu? Dan apa maumu dengan benda semacam itu?”
“Bawalah ini! Ini sebuah telur untuk Tuan. Dan perhatikan setiap geraknya! Jangan sampai Tuan meninggalkan pengamatan akan telurku! Tuan akan mengerti apa yang Aku maksud nantinya.”
Dan kupu-kupu pergi meninggalkanku sendirian. Aku hanya memegangi telur yang diberikan oleh Slik, Si Kupu-kupu. Aku pun menaruhnya di sehelai daun apel yang masih hijau dan muda. Kubawa telur masuk ke dalam kamarku. Kucari sebuah tomples yang bening, untuk menjadi tempat tinggalnya. Agar, Aku dapat mengamati setiap aktivitas yang dilakukan telur. Dan tak hanya selembar daun apel hijau yang ada di dalam toples. Namun, Aku hiasi dengan tangkai-tangkai kecil untuk memenuhi ruang toples. Sehingga, toples seakan tempat alamiah bagi mahkluk kecil itu. Telur menempel pada daun apel dan terus diam di sepanjang hari.
Setelah dua hari, telur menempel, nampak retaan-retakan di kulit telur. Sebuah mahkluk berkulit hijau, ulat, keluar dari telur. Ternyata, mahkluk itu sangat menjijikan bagi mata dan sangat membuat gatal bagi kulit. Mahkluk yang sangat buruk dan merusak, karena daun-daun yang ada didalam toples itu habis dimakannya. Tak jarang, Aku mengganti daun-daun yang tersisa tulangnya, kuganti dengan daun hijau dan segar. Dan Aku berpikir, bila tak aneh jika banyak orang yang membenci ulat. Terutama, para petani yang ingin sekali membasmi kumpulan-kumpulan ulat seperti ulat yang kulihat, yang  dapat menghabiskan daun-daun hijau yang segar.
Selama delapan belas hari, ulat bertahan didalam toples. Aku menghitung kulit yang terlepas selama menjadi ulat. Selama menjadi ulat, ia telah mengalami pergantian kulit sebanyak empat kali. Dan ulat pun menjadi sebuah kepompong yang melekat di tangkai kering, yang kusediakan di dalam toples. Selama menjadi ulat, Aku melihat bekas jalannya yang begitu menjijikkan. Karena, banyak liuran hijau yang keluar. Dan akhirnya ulat itu menjadi kepompong.
Aku mengamati sebuah kepompong yang sudah tak memakan daun lagi, dia seakan seperti seorang yang sedang berpuasa. Karena, ia sudah tak memakan daun yang kutaruh di dalam toples. Bahkan, ia tak pernah beranjak dari pijakkan kakinya. Dan hari-hariku, kuhabiskan untuk mengamati kepompong. Bahkan, Aku makan maupun minum harus berada didepan toples. Dan tak hanya mengamati saja yang kulakukan, tetapi Aku juga merenungkan setiap langkah yang terjadi didalam toples.
Sudah enam hari, Aku memperhatikan kepompong. Kepompong hanya diam untuk berpuasa makan, minum, dan bergerak. Pada waktu itu, aku melihat ada satu retakkan  dan muncul seperti sehelai benang. Aku melihat seekor kupu-kupu muda, yang basah keluar dari cangkang kepompong. Sayap-sayapnya yang basah belum mampu membuat kupu-kupu muda memampukannya untuk terbang.
Butuh sekitar dua jam lamanya, kupu-kupu di dalam toples untuk mengeringkan keempat sayapnya. Ketika sayapnya sudah kering benar, kupu-kupu terbang. Namun, selalu terbentur oleh batas kaca di dalam toples. Setelah Aku melihatnya, Aku membawanya ketepian danau untuk bertemu dengan kupu-kupu yang memberikanku telur kepadaku dulu. Aku berteriak dan berlari mengelilingi danau untuk mencari Slik, teman kecilku. Namun, tak kudapatinya di antara bunga-bunga yang masih bermekaran dengan indah.
Air mataku mulai terjatuh, karena dia sudah tak ada lagi di danau. Aku terduduk diantara bunga-bunga yang mekar dengan indah. Dan sebuah toples masih di dalam genggamanku. Aku mulai frustasi dan berteriak dengan sedihnya.
“Kenapa Ia tidak ada di danau lagi. Padahal, apa yang disuruhnya telah kulakukan. Dan hasil yang kulakukan hanya ingin kutunjukkan kepadanya. Agar Aku dapat mengerti apa yang Ia maksudkan kepadaku, kenapa Ia menyuruhku untuk mengamati telurnya, yang sekarang sudah berubah menjadi kupu-kupu?”
Aku terus menanyakan hal itu di dalam hati. Entah kenapa usahaku seperti angin yang hanya berhembus saja, tak ada gunanya sama sekali. Aku kecewa dengan sangat atas kepergian ‘Si Slik’, seekor kupu-kupu yang telah menjadi temanku. Aku termenung hingga sangat, tiba-tiba terdengar suara ketukan berulang kali dari arah sampingku. Ternyata, kupu-kupu yang ada didalam toples, yang melakukan ketukan. Dia nampak ingin keluar dari toples kaca. Maka, Aku membuka tutup toples itu dan berkata kepadanya. “Sekarang Kau bebas! Kau boleh terbang sesukamu. Karena seseorang teman yang telah menitipkan Kau kepadaku sudah tidak ada di danau ini.”
“Apa karena teman yang Tuan maksud, telah membuat hati Tuan bersedih hati? Sehingga Tuan begitu larut dalam kesedihan.”
“Iya, memang Ia yang membuat hatiku kecewa. Dan karena Ia pula telah menyuruhku mengamati Kau, sejak engkau masih menjadi telur hingga sekarang ini. Namun, saat Aku ingin bercerita tentang pengamatanku akan dirimu. Ia telah menghilang dari danau  yang kupijak sekarang.”
“Tuan, siapakah nama teman Tuan? Aku akan berusaha mencarinya sebagai balas budiku kepada Tuan. Karena Tuan telah menjagaku hingga Aku tumbuh menjadi dewasa begini.”
“Baiklah, Ia bernama Slik. Ia juga sama seperti Kau, seekor kupu-kupu. Dan memiliki corak yang khas, yaitu sayatan coklat yang ada dipunggungnya.”
“Aku akan mencarinya untuk Tuan. Dan Tuan tunggu disini saja!”
Dan kupu-kupu muda terbang meningggalkanku untuk mencari Slik, teman kupu-kupuku. Aku duduk diantara warna-warni bunga yang sedang bermekaran di tepi danau. Aku pun merasakan angin yang sejuk, hingga tubuh terebahkan olehnya. Dan Aku melihat langit yang masih membiru dengan cerah, di sertai gumpalan-gumpalan awan putih. Awan putih yang membentuk sebuah sketsa-sketsa dalam kehidupan, di sanalah Aku dapat berimajinasi untuk berkhayal.
Di tengah imajinasi yang bekerja untuk menikmati sebuah khayalan. Ada suara yang memanggil, “Tuan....Tuannn........!!!!!!!!!!” Suara yang membuyarkan khayalan yang terbuat. Aku bangkit dan melihat kedepan, terlihat sebuah kupu-kupu yang kelihatan sudah tua sekali. Dan Aku sepertinya mengenal kupu-kupu yang terbang menghampiriku. Karena garis sayatan yang terlukis di balik punggungnya yang begitu khas. Sayatan yang berwarna kecoklatan agak gelap, yang terselingi warna-warna yang cerah.
Kupu-kupu yang kulihat adalah ‘Slik’, kupu-kupu yang telah kucari-cari sepanjang hari ini. Dan Aku pun bertanya kepadanya, “Kenapa Kau tadi tidak ada di danau? Padahal, Aku sangat ingin bertemu denganmu.”
“Ya, Tuan. Maafkan Aku atas keterlambatan ini. Aku datang kemari, karena Aku mengingat sebuah janji yang telah kubuat dengan Tuan, pada bulan yang lalu. Sekarang, Aku datang kepada Tuan untuk meminta telur yang kuberikan kepada Tuan.’
“Telur yang Kau berikan kepadaku? Telur itu sudah tidak ada lagi di tanganku.”
Dan Slik pun nampak agak kecewa atas perkataanku, Aku tak tahu apa yang membuatnya begitu kecewa. Apakah hanya menghilangkan sebuah telurnya? Lalu Aku pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuat Kau kecewa? Apa perkataan yang baru saja Aku ucapkan?”
“Betul sekali, Tuan. Aku kecewa kepada Tuan, karena Tuan telah menghilangkan telur yang kutitipkan.”(Wajah sedih mulai terasa.)
“Janganlah kecewa! Maksudku adalah telurmu sudah menjadi sepertimu, Ia pergi pada hari ini juga untuk mencarimu. Sebab itulah permintaannya, sebagai balas budinya kepadaku. Karena Ia melihat betapa payahnya Aku mencarimu di sekeliling danau. Jadi, kuijinkan Ia terbang pergi untuk mencarimu.”
“Oooooooo,........ Begitukah, Tuan? Terima kasih atas penjagaannya terhadap anakku, Tuan. Dan sekarang Aku mau bertanya kepada Tuan. Apa yang Tuan inginkan dari pertemuan kita?”
“Aku hanya ingin Kau jelaskan apa yang Kau maksud  pada bulan kemarin. Karena selama Aku menjaganya dan memperhatikannnya, belum juga mendapatkan sebuah jawabannya. Sekarang juga, Aku ingin Kau menjelaskannya kepadaku sedetail mungkin!”
“Baiklah, Tuan. Dan juga sebelumnya Aku berterima kasih banyak sebelumnya atas pemeliharaan Tuan terhadap anakku. Dulu, Tuan bertanya kepadaku, kenapa Aku menginginkan hidup seperti Tuan? Padahal, beban yang Tuan pikul begitu berat.”
“Iya, itu memang benar!”
“Aku menitipkan telurku, karena Aku takut telurku akan menjadi santapan serangga lain. Karena telur seakan menjadi makanan ringan bagi serangga lain. Dan belum tentu, ratusan telur yang kuhasilkan akan menjadi kupu-kupu seutuhnya. Atau mungkin hidup, namun mati pada saat masih berupa telur, ulat, kepompong. Dan bahkan kupu-kupu yang sudah dewasa pun tak dapat bertahan lama untuk hidup.”
“Apa maksudmu?”(Wajah nampak tegang dengan seribu tanya)
“Dulu Tuan iri akan kecantikan tubuh dan warna yang kumiliki, bukan?”
“Iya. Aku iri sekali.”
“Tuan melihat metamorfosis telur yang kuberikan? Banyak usaha-usaha yang harus dilakukan, bukan? Dulu, Aku sangat sedih saat masih berupa ulat. Banyak manusia yang menjauhiku, bahkan menginginkanku untuk mati. Karena mereka sangat jijik terhadapku. Dan Aku berusaha sabar dari segala penderitaan dan sengsaraku. Sehingga, saat Aku menjadi kepompong, kusediakan untuk merenungkan dan mencurahkan segala isi hatiku. Sampai-sampai, Aku tak mau makan dan minum. Dan saat Aku keluar dari kepompong bahaya semakin besar. Dulu, Aku yang sangat ingin dibunuh. Sekarang, malahan menjadi sangat di buru untuk di jadikan koleksi manusia. Dan sekarang, bagaimana Tuan betah kalau hidup hanya sebagai objek perburuan?”
Aku mendengar penjelasan yang begitu tragis di balik kecantikkan yang rupawan olehnya. Aku termenung sebentar, hingga mata berkeluaran air yang tak begitu sedikit. Sebuah penderitaan yang begitu dalam dan mengancam sebuah nyawa. Dan Aku mengerti bahwa kehidupan tak hanya di pandang sebelah mata saja. Ternyata, dibalik keelokannya, banyak penderita yang teramat yang dirasakannya. Dan Aku menjawab sebuah pertanyaannya, “Aku takkan betah akan semuanya itu, Slik. Sekarang Aku sadar bahwa diriku hanyalah seorang manusia yang memandang sebelah mata saja.”
Dan Slik pun mengambil sebuah daun kering dan menuliskan sebuah pesan kepadaku. Dan memberikannya kepadaku sebagai tanda kenang-kenangan. Ia pun berpamitan kepadaku untuk yang terakhir kalinya, “Tuan, sekarang Aku ingin pergi. Dan sebelumnya kuberterima kasih atas penjagaan Tuan atas anakku. Sekarang, Aku ingin mencarinya. Kemanakah ia pergi tuan?”
Aku tak bisa berkata lagi, dan hanya menunjukkan arah dengan telunjukku. Aku terbawa oleh rasa keresahan yang begitu dalam. Aku pun kembali kedalam rumahku dengan daun kering yang bertuliskan ;
“Sebuah kehidupan jangan di pandang di satu sisi saja! Karena sebuah kehidupan seperti bola yang dapat dilihat di berbagi sudut.”
 Aku menyimpan pesan yang tertera di sehelai daun di dalam hati. Supaya Aku tak lagi memandang dengan satu sudut saja akan sesuatu yang terjadi. Dan bagaimana Aku dapat mendengar pendapat yang lain, agar dapat mempertimbangkan sesuatu. Dan Aku sangat berterima kasih atas teman kecilku, Slik. Yang telah mengajarkanku tentang suatu pandangan hidup.
 Ucapan terima kasih yang membawaku dalam alunan mimpi. Aku pulang ke rumah kayu tua, untuk menunggu lagi hari esok yang akan tiba. Menunggu dan menunggu sesuatu yangbenar-benar indah dari kerusakkanku. Angin malam kembali berpesta, untuk mengigilkan kulit badan. Dan aku kembali berselimut untuk menyiapkan hari esok.

2 komentar: