Hotsshort

Label

Senin, 28 Januari 2013

Prolog


Si Debu hanya ingin sebuah jawaban, bukan untuk menginginkan tumpukan harta, nama yang mulia, dan jabatan yang tinggi. Jalan Si Debu pun tak mampu orang yang memperkirakan kemana dia akan berlabuh, kecuali angin yang selalu membawa Debu berlabuh. Kalau ditanya dimana rumahnya? Aku tak bisa menjawab dimana, karena jejak langkahnya saja tak meninggalkan bekas untuk diteliti darimana Si Debu berasal.
Hempasan angin menerpa kepada Debu untuk mengusirnya dari tempat satu ke tempat lain. Entah perasaan apa yang dirasakannya oleh setiap penolakan yang diterimanya. Menurutmu apakah hanya lagu kesedihan menjadi mewakili duka Debu? Apakah sajak puisi yang menguras air mata pembaca, itu menjadi gambaran lukanya? Si Debu akan menjawab dengan mata terpejam dan lantang, “TIDAK!!!!!!!!! Itu hanya setitik dari selembar luka dan dukaku.”
Debu tanpa hati, hidup dengan beban depresi. Mungkin itulah bagian yang terindah yang kumiliki. Karena aku tak tahu alasan kenapa dan kenapa, untuk menjawab bahwa ini adalah bagian terindah dalam hidupku. Mungkin orang yang memandang ini, akan menghinaku. Namun, saat mereka mencoba untuk mengambil bagian ini, mungkin mereka akan berteriak penuh keputusasaan.
Apa bayanganmu dan penggambaranmu tentang “debu”? Kotor…??? Jorok….??? Hitam….??? Tidak berguna….??? Tak pantas ada….??? Atau kata-kata yang lain, yang bermaksud untuk menyudutkan dan mematikan “debu”….??? Aku akan sungguh berterima kasih atas penggambaran kalian tentang Si Debu ini hidup di tengah cacian dan makian. Karena aku memang kotor dan tak berguna.
Aku benar-benar bingung harus bagaimana mengungkapkan pertanyaan didalam memoriku. Harus aku mulai dari kata apa untuk mengungkapkannya? Apakah harus memulainya dengan kata Mengapa, Kenapa, Bagaimana, Kapan, Siapa, atau Dimana? Perasaan yang kumiliki pun tak mampu turut menyumbangkan saran untuk memulai bagaimana baiknya memaparkan pertanyaan yang mudah dimengerti oleh tempat singgahku.
Aku bersabar terus-terusan dengan sebutan “debu”, karena memang aku payah dalam duniaku ini. Aku yang hidup, malahan aku sendiri yang ditekan oleh hidup. Bukan menikmati hidup, malah diperkosa oleh hidup. Bukan merdeka untuk hidup, tetapi terjajah oleh hidup. Aku melihat dunia mampu tertawa, karena mereka senang dan bahagia. Sebaliknya, aku terpaksa tertawa, karena harus menuruti aturan dunia yang tertawa.
Debu bertanya-tanya dengan fakta ini, “Kenapa harus ada cahaya, bila kebanyakan orang benci kepada bayangan? Atau sebaliknya, Kenapa harus ada bayangan, bila kebanyakan orang suka kepada cahaya?”  Renungkanlah sendiri apa maksud pertanyaan ini, karena aku tak mampu membuat pertanyaan yang lebih baik lagi selain pertanyaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar