Semangat mentari semakin
menggelora, membuat Bayangan di kaki semakin nyata. Dan tubuh semakin letih
untuk melangkah, sedangkan Bayangan tak lelah untuk menjadi nyata. Aku sudah
tak tahan, bila Bayangan menguntitku terus seakan Aku tak pernah lepas dari
tatapan matanya. Sungguh lelah dan teramat lelah, bila gerak langkah terus di
awasinya. Setiap kali tidur maupun bangun, kenapa Bayangan selalu ada? Seperti
tak habis-habisnya menerorku dan menagih sebuah jawaban yang tak kumengerti.
Aku sangat bingung akan semua yang terjadi didepan mata maupun tidak di hadapan
mata.
Dan Aku bangun dari perbaringanku
untuk mencari sebuah nafas yang segar, sebuah nafas yang sangat kuidam-idamkan.
Aku pun mencari bersama mentari yang berada di atasku, sebagai pelita
pencarianku. Namun, tetap saja Bayangan tak mau beranjak dari jarak yang telah
dibuatnya. Aku perputar sekian kalinya, hanya untuk mencari nafas segar. Namun,
kemarahan, kegelisahan, frustasi, dan keletihan yang kudapatkan dalam
pencarianku.
Lelah dan lelah, badan
merasakannya di setiap pencariannya. Aku pun mengasingkan kembali ke tepi
danau, yang sering kukunjungi setiap harinya. Aku merasa nyaman melihat
rumput-rumput yang melahirkan bunga-bunga. Bunga yang sangat cantik dan harum
dimata. Hingga, banyak serangga-serangga kecil yang menghampirinya. Aku hanya memandangnya
dari kejauhan, melihat bunga-bunga yang tergoyangkan oleh angin semilir.
Sebuah pertunjukkan sangat indah,
yang dimainkan oleh bunga. Lebih-lebih bunga yang baru lahir. Sebuah
pertunjukkan yang membuatku tertidur di bawah pohon apel hijau yang rindang.
Hanya angin-angin yang terasa oleh kulit. Dan semilirnya membuat tubuh seakan
ringan untuk terbang. Tiba-tiba, ada seekor kupu-kupu menghinggap di atas
kepalaku. Aku pun terbangun dan meraba di atas kepala. Kupu-kupu langsung
terbang di depan wajahku dan berkata, “Maafkan Aku, Tuan? Kalau Aku mengganggu
tidur Tuan di bawah pohon apel, yang begitu rindang ini.”
Aku hanya tersentak kaget dan
menatap kupu-kupu. Terkaget akan suara yang baru terlontar dari mulutnya.
Sungguh aneh, seekor kupu-kupu yang dapat
berbicara kepadaku. Lebih-lebih, Dia berkata maaf kepada diriku. Dan Ia
mulai berbicara lagi, menggugah lamunanku, “Ada apa, Tuan? Kenapa Tuan
melamun?”
“Tidak......... tidak apa-apa,
kok. Kau ini siapa? Dan kenapa Kau bisa bicara? Padahal, Kau adalah seekor
kupu-kupu yang indah. Apakah Kau mengerti dan dapat berbahasa yang kupakai?”
“Jangan kaget, Tuan! Aku memang mengerti apa yang Tuan ucapkan.
Pertama-tama, perkenalkan namaku, Slik.”
“Aku ini sebenarnya mimpi atau
tidak? Apakah semacam halusinasiku saja?”(Sambil menepuk-nepuk pipi dan
sesekali memejamkan mata.)
“Sulit untuk dijawabnya, Tuan.
Silakan, Tuan melanjutkan istirahatnya. Aku akan pergi, agar Tuan tidak
terganggu.”
“Tunggu sebentar! Aku ingin
bicara denganmu, apakah Kau ada waktu untuk itu?”
“Baiklah, Tuan. Aku akan
mendengarkan apa yang Tuan ingin bicarakan dan menjawab apa yang Tuan
tanyakan.”
“Terima kasih atas waktunya.
Tetapi, Aku melihat indahnya tubuhmu dan sangat mengagumkan sekali akan
keelokan sayapmu! Pantas saja, para wanita suka dengan kupu-kupu. Seandainya
Aku menjadi sepertimu, yang banyak disukai oleh banyak orang?”
“Terima kasih atas pujiannya,
Tuan. Tapi.................”
“Tapi apa? Kau tidak senang akan
keelokkan tubuhmu? Atau Kau bersedih akan kecantikanmu?”
“Sama sekali tidak. Namun, Aku
malah lebih senang, bila mempunyai perawakan seperti Tuan dan bergaul dengan
komunitas Tuan.”
“Apa? Tubuhku? Komunitasku? Kau
mengada-ada saja? Padahal, Kau sangat cantik dan serangga yang paling disukai
banyak orang.”
“Benar... benar. Aku sangat ingin
sekali hidup seperti Tuan. Aku sangat ingin memiliki kaki, tangan, wajah, dan
hati. Sehingga dapat merasakan kehidupan yang indah.”
“Yang benar saja? Kau akan
menyesal nantinya. Kau akan merasakan beban yang kutanggung. Lebih baik, Aku
menjadi kupu-kupu sepertimu, yang selalu di cintai oleh semua orang.”
“Tuan ingin menjadi seekor
kupu-kupu yang malang ini dan yang akan meninggal ini? Sungguh aneh terdengar
oleh telingaku, Tuan.”
“Apanya yang aneh? Masa Kau
mengatakan dirimu itu malang? Dan akan berakhir atas kehidupanmu?”
Namun, Si Kupu-kupu tak
menjawabnya. Ia pergi dari hadapanku yang termangu atas perkataannya. Ia
terbang disekitar bunga-bunga yang baru saja lahir, Ia terbang rendah dibalik
dedauan rumput lapang. Dan seperti mencari-cari sesuatu yang berharga baginya.
Namun, Ia hanya membawa sesuatu, sesuatu yang kelihatannya seperti sebutir
pasir. Dan Aku hanya bisa bertanya kepadanya, “Apa yang Kau bawa itu? Dan apa
maumu dengan benda semacam itu?”
“Bawalah ini! Ini sebuah telur
untuk Tuan. Dan perhatikan setiap geraknya! Jangan sampai Tuan meninggalkan
pengamatan akan telurku! Tuan akan mengerti apa yang Aku maksud nantinya.”
Dan kupu-kupu pergi
meninggalkanku sendirian. Aku hanya memegangi telur yang diberikan oleh Slik,
Si Kupu-kupu. Aku pun menaruhnya di sehelai daun apel yang masih hijau dan
muda. Kubawa telur masuk ke dalam kamarku. Kucari sebuah tomples yang bening,
untuk menjadi tempat tinggalnya. Agar, Aku dapat mengamati setiap aktivitas
yang dilakukan telur. Dan tak hanya selembar daun apel hijau yang ada di dalam
toples. Namun, Aku hiasi dengan tangkai-tangkai kecil untuk memenuhi ruang
toples. Sehingga, toples seakan tempat alamiah bagi mahkluk kecil itu. Telur
menempel pada daun apel dan terus diam di sepanjang hari.
Setelah dua hari, telur menempel,
nampak retaan-retakan di kulit telur. Sebuah mahkluk berkulit hijau, ulat,
keluar dari telur. Ternyata, mahkluk itu sangat menjijikan bagi mata dan sangat
membuat gatal bagi kulit. Mahkluk yang sangat buruk dan merusak, karena daun-daun
yang ada didalam toples itu habis dimakannya. Tak jarang, Aku mengganti
daun-daun yang tersisa tulangnya, kuganti dengan daun hijau dan segar. Dan Aku
berpikir, bila tak aneh jika banyak orang yang membenci ulat. Terutama, para
petani yang ingin sekali membasmi kumpulan-kumpulan ulat seperti ulat yang
kulihat, yang dapat menghabiskan
daun-daun hijau yang segar.
Selama delapan belas hari, ulat
bertahan didalam toples. Aku menghitung kulit yang terlepas selama menjadi
ulat. Selama menjadi ulat, ia telah mengalami pergantian kulit sebanyak empat
kali. Dan ulat pun menjadi sebuah kepompong yang melekat di tangkai kering,
yang kusediakan di dalam toples. Selama menjadi ulat, Aku melihat bekas
jalannya yang begitu menjijikkan. Karena, banyak liuran hijau yang keluar. Dan
akhirnya ulat itu menjadi kepompong.
Aku mengamati sebuah kepompong
yang sudah tak memakan daun lagi, dia seakan seperti seorang yang sedang
berpuasa. Karena, ia sudah tak memakan daun yang kutaruh di dalam toples.
Bahkan, ia tak pernah beranjak dari pijakkan kakinya. Dan hari-hariku,
kuhabiskan untuk mengamati kepompong. Bahkan, Aku makan maupun minum harus
berada didepan toples. Dan tak hanya mengamati saja yang kulakukan, tetapi Aku
juga merenungkan setiap langkah yang terjadi didalam toples.
Sudah enam hari, Aku
memperhatikan kepompong. Kepompong hanya diam untuk berpuasa makan, minum, dan
bergerak. Pada waktu itu, aku melihat ada satu retakkan dan muncul seperti sehelai benang. Aku
melihat seekor kupu-kupu muda, yang basah keluar dari cangkang kepompong.
Sayap-sayapnya yang basah belum mampu membuat kupu-kupu muda memampukannya
untuk terbang.
Butuh sekitar dua jam lamanya,
kupu-kupu di dalam toples untuk mengeringkan keempat sayapnya. Ketika sayapnya
sudah kering benar, kupu-kupu terbang. Namun, selalu terbentur oleh batas kaca
di dalam toples. Setelah Aku melihatnya, Aku membawanya ketepian danau untuk
bertemu dengan kupu-kupu yang memberikanku telur kepadaku dulu. Aku berteriak
dan berlari mengelilingi danau untuk mencari Slik, teman kecilku. Namun, tak
kudapatinya di antara bunga-bunga yang masih bermekaran dengan indah.
Air mataku mulai terjatuh, karena
dia sudah tak ada lagi di danau. Aku terduduk diantara bunga-bunga yang mekar
dengan indah. Dan sebuah toples masih di dalam genggamanku. Aku mulai frustasi
dan berteriak dengan sedihnya.
“Kenapa Ia tidak ada di danau
lagi. Padahal, apa yang disuruhnya telah kulakukan. Dan hasil yang kulakukan
hanya ingin kutunjukkan kepadanya. Agar Aku dapat mengerti apa yang Ia
maksudkan kepadaku, kenapa Ia menyuruhku untuk mengamati telurnya, yang
sekarang sudah berubah menjadi kupu-kupu?”
Aku terus menanyakan hal itu di
dalam hati. Entah kenapa usahaku seperti angin yang hanya berhembus saja, tak
ada gunanya sama sekali. Aku kecewa dengan sangat atas kepergian ‘Si Slik’,
seekor kupu-kupu yang telah menjadi temanku. Aku termenung hingga sangat,
tiba-tiba terdengar suara ketukan berulang kali dari arah sampingku. Ternyata,
kupu-kupu yang ada didalam toples, yang melakukan ketukan. Dia nampak ingin
keluar dari toples kaca. Maka, Aku membuka tutup toples itu dan berkata
kepadanya. “Sekarang Kau bebas! Kau boleh terbang sesukamu. Karena seseorang
teman yang telah menitipkan Kau kepadaku sudah tidak ada di danau ini.”
“Apa karena teman yang Tuan
maksud, telah membuat hati Tuan bersedih hati? Sehingga Tuan begitu larut dalam
kesedihan.”
“Iya, memang Ia yang membuat
hatiku kecewa. Dan karena Ia pula telah menyuruhku mengamati Kau, sejak engkau
masih menjadi telur hingga sekarang ini. Namun, saat Aku ingin bercerita
tentang pengamatanku akan dirimu. Ia telah menghilang dari danau yang kupijak sekarang.”
“Tuan, siapakah nama teman Tuan?
Aku akan berusaha mencarinya sebagai balas budiku kepada Tuan. Karena Tuan
telah menjagaku hingga Aku tumbuh menjadi dewasa begini.”
“Baiklah, Ia bernama Slik. Ia
juga sama seperti Kau, seekor kupu-kupu. Dan memiliki corak yang khas, yaitu
sayatan coklat yang ada dipunggungnya.”
“Aku akan mencarinya untuk Tuan.
Dan Tuan tunggu disini saja!”
Dan kupu-kupu muda terbang
meningggalkanku untuk mencari Slik, teman kupu-kupuku. Aku duduk diantara
warna-warni bunga yang sedang bermekaran di tepi danau. Aku pun merasakan angin
yang sejuk, hingga tubuh terebahkan olehnya. Dan Aku melihat langit yang masih
membiru dengan cerah, di sertai gumpalan-gumpalan awan putih. Awan putih yang
membentuk sebuah sketsa-sketsa dalam kehidupan, di sanalah Aku dapat
berimajinasi untuk berkhayal.
Di tengah imajinasi yang bekerja
untuk menikmati sebuah khayalan. Ada suara yang memanggil,
“Tuan....Tuannn........!!!!!!!!!!” Suara yang membuyarkan khayalan yang
terbuat. Aku bangkit dan melihat kedepan, terlihat sebuah kupu-kupu yang
kelihatan sudah tua sekali. Dan Aku sepertinya mengenal kupu-kupu yang terbang
menghampiriku. Karena garis sayatan yang terlukis di balik punggungnya yang
begitu khas. Sayatan yang berwarna kecoklatan agak gelap, yang terselingi
warna-warna yang cerah.
Kupu-kupu yang kulihat adalah
‘Slik’, kupu-kupu yang telah kucari-cari sepanjang hari ini. Dan Aku pun
bertanya kepadanya, “Kenapa Kau tadi tidak ada di danau? Padahal, Aku sangat
ingin bertemu denganmu.”
“Ya, Tuan. Maafkan Aku atas
keterlambatan ini. Aku datang kemari, karena Aku mengingat sebuah janji yang
telah kubuat dengan Tuan, pada bulan yang lalu. Sekarang, Aku datang kepada
Tuan untuk meminta telur yang kuberikan kepada Tuan.’
“Telur yang Kau berikan kepadaku?
Telur itu sudah tidak ada lagi di tanganku.”
Dan Slik pun nampak agak kecewa
atas perkataanku, Aku tak tahu apa yang membuatnya begitu kecewa. Apakah hanya
menghilangkan sebuah telurnya? Lalu Aku pun bertanya kepadanya, “Apa yang
membuat Kau kecewa? Apa perkataan yang baru saja Aku ucapkan?”
“Betul sekali, Tuan. Aku kecewa
kepada Tuan, karena Tuan telah menghilangkan telur yang kutitipkan.”(Wajah
sedih mulai terasa.)
“Janganlah kecewa! Maksudku
adalah telurmu sudah menjadi sepertimu, Ia pergi pada hari ini juga untuk
mencarimu. Sebab itulah permintaannya, sebagai balas budinya kepadaku. Karena
Ia melihat betapa payahnya Aku mencarimu di sekeliling danau. Jadi, kuijinkan
Ia terbang pergi untuk mencarimu.”
“Oooooooo,........ Begitukah,
Tuan? Terima kasih atas penjagaannya terhadap anakku, Tuan. Dan sekarang Aku
mau bertanya kepada Tuan. Apa yang Tuan inginkan dari pertemuan kita?”
“Aku hanya ingin Kau jelaskan apa
yang Kau maksud pada bulan kemarin.
Karena selama Aku menjaganya dan memperhatikannnya, belum juga mendapatkan
sebuah jawabannya. Sekarang juga, Aku ingin Kau menjelaskannya kepadaku
sedetail mungkin!”
“Baiklah, Tuan. Dan juga
sebelumnya Aku berterima kasih banyak sebelumnya atas pemeliharaan Tuan
terhadap anakku. Dulu, Tuan bertanya kepadaku, kenapa Aku menginginkan hidup
seperti Tuan? Padahal, beban yang Tuan pikul begitu berat.”
“Iya, itu memang benar!”
“Aku menitipkan telurku, karena
Aku takut telurku akan menjadi santapan serangga lain. Karena telur seakan
menjadi makanan ringan bagi serangga lain. Dan belum tentu, ratusan telur yang
kuhasilkan akan menjadi kupu-kupu seutuhnya. Atau mungkin hidup, namun mati
pada saat masih berupa telur, ulat, kepompong. Dan bahkan kupu-kupu yang sudah
dewasa pun tak dapat bertahan lama untuk hidup.”
“Apa maksudmu?”(Wajah nampak
tegang dengan seribu tanya)
“Dulu Tuan iri akan kecantikan
tubuh dan warna yang kumiliki, bukan?”
“Iya. Aku iri sekali.”
“Tuan melihat metamorfosis telur
yang kuberikan? Banyak usaha-usaha yang harus dilakukan, bukan? Dulu, Aku
sangat sedih saat masih berupa ulat. Banyak manusia yang menjauhiku, bahkan
menginginkanku untuk mati. Karena mereka sangat jijik terhadapku. Dan Aku
berusaha sabar dari segala penderitaan dan sengsaraku. Sehingga, saat Aku
menjadi kepompong, kusediakan untuk merenungkan dan mencurahkan segala isi
hatiku. Sampai-sampai, Aku tak mau makan dan minum. Dan saat Aku keluar dari
kepompong bahaya semakin besar. Dulu, Aku yang sangat ingin dibunuh. Sekarang,
malahan menjadi sangat di buru untuk di jadikan koleksi manusia. Dan sekarang,
bagaimana Tuan betah kalau hidup hanya sebagai objek perburuan?”
Aku mendengar penjelasan yang
begitu tragis di balik kecantikkan yang rupawan olehnya. Aku termenung sebentar,
hingga mata berkeluaran air yang tak begitu sedikit. Sebuah penderitaan yang
begitu dalam dan mengancam sebuah nyawa. Dan Aku mengerti bahwa kehidupan tak
hanya di pandang sebelah mata saja. Ternyata, dibalik keelokannya, banyak
penderita yang teramat yang dirasakannya. Dan Aku menjawab sebuah
pertanyaannya, “Aku takkan betah akan semuanya itu, Slik. Sekarang Aku sadar
bahwa diriku hanyalah seorang manusia yang memandang sebelah mata saja.”
Dan Slik pun mengambil sebuah
daun kering dan menuliskan sebuah pesan kepadaku. Dan memberikannya kepadaku
sebagai tanda kenang-kenangan. Ia pun berpamitan kepadaku untuk yang terakhir
kalinya, “Tuan, sekarang Aku ingin pergi. Dan sebelumnya kuberterima kasih atas
penjagaan Tuan atas anakku. Sekarang, Aku ingin mencarinya. Kemanakah ia pergi
tuan?”
Aku tak bisa berkata lagi, dan
hanya menunjukkan arah dengan telunjukku. Aku terbawa oleh rasa keresahan yang
begitu dalam. Aku pun kembali kedalam rumahku dengan daun kering yang
bertuliskan ;
“Sebuah kehidupan jangan di
pandang di satu sisi saja! Karena sebuah kehidupan seperti bola yang dapat
dilihat di berbagi sudut.”
Aku menyimpan pesan yang tertera di sehelai
daun di dalam hati. Supaya Aku tak lagi memandang dengan satu sudut saja akan
sesuatu yang terjadi. Dan bagaimana Aku dapat mendengar pendapat yang lain,
agar dapat mempertimbangkan sesuatu. Dan Aku sangat berterima kasih atas teman
kecilku, Slik. Yang telah mengajarkanku tentang suatu pandangan hidup.
Ucapan terima kasih yang membawaku dalam
alunan mimpi. Aku pulang ke rumah kayu tua, untuk menunggu lagi hari esok yang
akan tiba. Menunggu dan menunggu sesuatu yangbenar-benar indah dari
kerusakkanku. Angin malam kembali berpesta, untuk mengigilkan kulit badan. Dan
aku kembali berselimut untuk menyiapkan hari esok.
really amazing story..
BalasHapusTerima kasih..
Hapus